19 Jul 2011

GEREJA TUA WATUMEA (III) - Gereja Tua dalam Kisah

Ornamen Gereja Tua Watumea (Photo by: thearoengbinangproject.com) 
Semangat komunal mapalus warga Watumea berperan besar dalam pembangunan gedung gereja. Paku dan engselnya, mereka buat sendiri dari besi dengan menggunakan alat-alat sederhana. Simak bagian terakhir dari catatan perjalanan Denni Pinontoan ke sebuah gereja perdana di tanah Minahasa.

Gedung “Gereja Tua” ini berdiri di halaman seluas 48x18 meter. Sementara gedungnya seluas 22 x 11 meter. Berdiri di perempatan wanua itu, gedung gereja ini memang tampak berkesan dan menyolok. Bagi orang yang melewati wanua Watumea, mungkin ada baiknya singgah sebentar untuk melihat secara dekat salah satu peninggalan bersejarah yang di dalamnya berkisah tentang hidup, karya dan cita-cita orang-orang Kristen Watumea di masa lampau.

Gedung gereja ini mulai dibangun tahun 1868. Pdt. Rooker, Hukum Tua Onesimus Supit, juga mantan hukum tua Telis Elkana Supit serta guru jemaat Martin Legoh berpikir tentang kebutuhan diadakannya gedung gereja bagi orang-orang Kristen di Wanua Watumea yang sudah banyak itu. 

Atas usulan mereka, dimulailah pembangunan gedung gereja itu. Semangat komunal mapalus warga Watumea berperan besar dalam pembangunan gedung gereja ini. Warga bersama-sama menebang pohon untuk dibuat balok (balak), dan papan di hutan, yaitu di lereng Pegunungan Lembean Utara. Kayu-kayu yang ditebang ditarik dengan bantuan kuda. Laki-laki dan perempuan bekerja bersama menyiapkan kebutuhan pembangunan gedung gereja.

Warga masih mengingat tukang-tukang handal di masa pembangunan gedung gereja itu. Misalnya ada nama Hermanus Repi, anak dari Dirk Repi yang juga tukang kayu handal di masa itu. Kemudian disebutkan juga nama George Pandelaki.

“Paku dan engselnya, mereka buat sendiri dari besi dengan menggunakan alat-alat sederhana,” begitu sejarah itu dikisahkan.

Pada tahun 1872, di masa Hukum Tua Manuel Pandelaki, gedung gereja itu selesai di bangun. Meski masih sangat sederhana, atap dari daun rumbia (katu), lantai masih dari tanah yang dipadatkan, namun gedung gereja itu sudah bisa dipakai beribadah. Pada bagian dalam dibuat balkon untuk para tamu terhormat. Alat penerang gedung memakai “lampu botol”, dengan bahan bakar minyak tanah. Tempat duduk jemaat terbuat dari kayu yang memanjang, yang oleh warga menyebutnya “bangku”.

Gedung gereja yang sudah selesai dibangun ini ditahbiskan oleh Pdt. Rooker pada pada tanggal 8 Desember 1872. Hari penahbisan adalah minggu kedua bulan Desember tahun itu.

“Makanya, kalo torang mo peringati hari jadi gedung ini, torang ja beking setiap minggu kedua bulan Desember,” ujar Pandelaki.

Hadir dalam ibadah penahbisan itu sejumlah penginjil Zending di Minahasa waktu itu, antaranya J.G. Schawrz, N. Graafand, N. Ph. Wilken, F.H. Linneman dan J.N. Wiersma.

Peralatan atau dekorasi gedung gereja, di tahun-tahun berikutnya dilengkapi secara bertahap. Seperti lonceng gereja (1912), kursi rotan sebanyak 140 buah (tahun 1895), kaca-kaca berwarna (tahun 1924), tempat lampu dan lampu-lampu gantung (1924), alat-alat baptisan dan perjamuan kudus serta persembahan (tahun 1912).

 “Peralatan ini semuanya didatangkan dari Eropa. Sampai sekarang masih ada. Kalo kursi rotan, so banyak yang rusak, maar ada berapa yang masih ja pake,” ujar Kostor Kawengian.

Mimbar gereja yang terbuat dari kayu dengan bentuk cawan sudah setua gedungnya, yaitu bersamaan di buat pada tahun 1872. Alat-alat baptisan, perjamuan kudus serta persembahan kini disimpan di konsitori. Kursi-kursi rotan yang beberapa di antaranya masih dipergunakan hingga sekarang di bagian bawah tempat duduknya terdapat cap asal kursi, yaitu Austria.

Mengingat nilai sejarah dari gedung gereja ini, maka pada tahun 1983, melalui salah satu anggota jemaat, diinformasikan kepada Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengenai nilai sejarah dari gedung gereja tersebut. Dari informasi itu, datanglah tim peneliti untuk mengkaji kesejarahan gedung gereja tersebut. Berdasarkan kajian tersebut, maka pada bulan Februari tahun 1983, gedung tersebut ditetapkan sebagai gedung gereja tertua di Minahasa. Untuk menjaga kelestarian gedung tersebut, maka diadakanlah perbaikan gedung dengan tidak mengubah bentuk aslinya. Pada tanggal 14 Oktober 1983, secara resmi gedung gereja tua tersebut diserahkan kepada pemerintah untuk dipelihara sebagai peninggalan bersejarah.

Para Pemuda Gereja GMIM Watumea (Photo: Facebook "GMIM GALILEA WATUMEA"
Sementara di tahun 2003, pemerintah melalui menteri Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan SK tentang Penetapan Gereja Tua Watumea, beserta beberapa benda atau situs bersejarah lainnya di Sulawesi Utara sebagai Benda Cagar Budaya yang dilindungi Undang-undang. SK tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Maret 2003, yang di tanda tangani oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Gede Ardika.

Gereja tua adalah kisah tentang sebuah perjalanan sejarah. Dia telah melewati dua perang dunia, telah melewati masa-masa Pergolakan Permesta, zaman orde baru, dan kini. Kita tidak bisa menebak, sampai kapan gedung gereja tua ini akan terus “merekam” cerita-cerita kehidupan di wanua Watumea dan Tanah Minahasa ini.

“Bagi kami, gedung gereja tua ini, tidak sebatas benda cagar budaya, tapi juga memiliki nilai sejarah mengenai perjalanan kekristenan di wanua ini, dan juga Minahasa pada umumnya. Gedung tua ini menceritakan banyak hal mengenai kehidupan masa lalu di Wanua Watumea,” ujar Pandelaki.***